Redenominasi Rupiah: Momentum Emas Menuju Ekonomi Digital yang Lebih Efisien dan Modern

Data Dirgantara

redonominasi rupiah

Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menyerukan sebuah langkah strategis yang patut dipertimbangkan serius oleh pemerintah dan Bank Indonesia: redenominasi rupiah. Menurutnya, saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk membahas implementasi teknisnya secara komprehensif.

Langkah ini bukan sekadar wacana biasa, melainkan sebuah inisiatif penting yang berlandaskan pada fondasi ekonomi makro Indonesia yang kokoh. Stabilitas yang telah terbangun selama dua dekade terakhir menjadi modal utama.

Indonesia kini menikmati inflasi yang rendah dan terkendali, sebuah pencapaian krusial yang menunjukkan keberhasilan kebijakan moneter. Sistem keuangan nasional juga terpelihara stabil, memberikan kepercayaan diri bagi para pelaku ekonomi.

Kredibilitas kebijakan moneter Bank Indonesia telah teruji dan terjaga, menjadi pilar penting bagi stabilitas harga. Kondisi makroekonomi yang kondusif ini, kata Fakhrul, adalah momentum langka yang tak boleh disia-siakan begitu saja.

Redenominasi, tegasnya, jauh melampaui sekadar pemotongan tiga angka nol dari nominal rupiah. Ini adalah upaya restrukturisasi fundamental pada sistem pembayaran nasional.

Tujuannya adalah menciptakan sistem yang lebih efisien, transparan, dan relevan dengan dinamika ekonomi digital global. Ini adalah langkah maju untuk menyederhanakan interaksi finansial.

Lebih dari sekadar angka, redenominasi juga menawarkan kesempatan untuk menghidupkan kembali satuan “sen” yang pernah akrab di telinga masyarakat. Kehadiran kembali “sen” memiliki makna ekonomi yang mendalam.

Satuan kecil ini esensial untuk mencegah hilangnya nilai akibat pembulatan harga ke atas, yang sering terjadi pada transaksi sehari-hari. Ia mencerminkan prinsip ketelitian dan keadilan ekonomi.

Dari pedagang pasar tradisional hingga ritel modern, sistem “sen” akan memastikan setiap nilai transaksi tercatat dengan presisi. Ini juga berpotensi menjaga stabilitas harga mikro, menghindari inflasi tersembunyi akibat pembulatan.

Fakhrul menekankan bahwa kunci keberhasilan redenominasi terletak pada kondisi ekonomi yang stabil saat pelaksanaannya. Sejarah dan pengalaman global menjadi saksi atas kebenaran prinsip ini.

Bank of Ghana pada tahun 2007 dan Bank Sentral Turki pada tahun 2005 adalah contoh sukses. Redenominasi mereka, yang dilakukan di tengah stabilitas makro, terbukti mengurangi friksi transaksi dan menyederhanakan sistem pembayaran.

Sebaliknya, kasus Zimbabwe pada tahun 2008 menjadi pelajaran pahit kegagalan. Redenominasi di sana hancur karena inflasi ekstrem yang tak terkendali dan hilangnya kepercayaan publik secara masif.

Lebih lanjut, Fakhrul melihat redenominasi sebagai jembatan strategis menuju era Digital Rupiah, atau Central Bank Digital Currency (CBDC), yang kini tengah disiapkan Bank Indonesia. Ini adalah sinergi yang kuat.

Dengan nominal mata uang yang lebih sederhana, adopsi CBDC akan menjadi lebih mudah. Ini akan mempermudah implementasi untuk transaksi mikro, lintas platform, dan bahkan lintas wilayah.

Studi dari Bank for International Settlements (BIS) turut menguatkan pandangan ini. Mereka menegaskan bahwa penyederhanaan nominal mata uang dapat secara signifikan meningkatkan interoperabilitas.

Selain itu, efisiensi dan kesederhanaan desain sistem pembayaran ritel juga akan ikut terdongkrak. Ini adalah landasan penting untuk inovasi keuangan di masa depan.

Saat ini, inflasi Indonesia berada di bawah 3 persen, dan stabilitas sistem keuangan nasional sangat kuat. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi yang ideal untuk redenominasi.

Fakhrul menyebut langkah ini sebagai tindakan antisipatif, bukan reaktif. Ini adalah langkah proaktif yang diambil saat ekonomi sehat, bukan sebagai respons terhadap krisis.

Bank of Ghana, dalam Redenomination Report 2007 mereka, menggarisbawahi beberapa faktor penentu keberhasilan. Stabilitas makroekonomi adalah yang utama, diikuti oleh inflasi yang rendah.

Nilai tukar mata uang yang terkendali juga memegang peranan vital, serta kebijakan fiskal yang berkelanjutan. Indonesia saat ini memenuhi kriteria-kriteria tersebut.

Namun, di balik optimisme ini, Fakhrul mengingatkan pentingnya implementasi yang cermat. Redenominasi memerlukan masa transisi yang terencana dan komunikasi publik yang sangat hati-hati.

Tujuannya agar masyarakat memahami perubahan ini tanpa kebingungan atau kekhawatiran yang tidak perlu. Sosialisasi yang massif dan edukasi adalah kunci utama.

Redenominasi bukanlah sekadar perbaikan kosmetik pada ekonomi, melainkan bagian integral dari reformasi sistem moneter yang modern. Ini adalah investasi jangka panjang.

Oleh karena itu, persiapan harus dilakukan secara matang, disosialisasikan secara luas, dan dijalankan secara bertahap. Dengan begitu, redenominasi akan benar-benar memberikan manfaat optimal bagi efisiensi ekonomi nasional.

Ini adalah kesempatan untuk memodernisasi cara kita berinteraksi dengan uang, menjadikannya lebih mudah, lebih transparan, dan lebih siap menghadapi tantangan ekonomi abad ke-21.

Related Post

No comments

Home Submit Product Top Up Menu